Menanam Modal di Sektor Pertambangan Mineral Logam

Lahan bisnis yang paling subur saat ini adalah property dan jasa perbankan. Dari tahun ke tahun volumenya terus bertambah demikian pula kualitas dan tatacara penyelenggaraan pasarnya. Lahan bisnis ini umumnya di gerakkan di kota-kota besar dimana masyarakat relatif mampu menerima perubahan dengan sangat cepat, liquid dan mampu mengikutinya dengan baik.

Beberapa tahun terakhir, ketika era keterbukaan di mulai, sektor yang ramai menyusul property dan perbankan disebutlah industri pertambangan dan perkebunan. Entah apa kaitan era keterbukaan dengan menjadi maraknya tambang dan perkebunan. Kausa prima politik dan pengusaan sumber daya produksi mungkin menjadi salah satu pemicunya. Dengan kekuasaan politik yang semakin membaik dengan munculnya tokoh-tokoh baru politik pasca orde baru tumbang, akses ke modal dan garantie legitimasi penyerahan modal besar juga semakin mambaik. Dan, pada tingkat kebijakan, industri tambang yang tadinya tertutup bagi perusahan kecil dan menengah, sekarang ini, dengan lembaga koperasi pun diberikan peluang bergerak dibidang pertambangan.

Ramainya pembukaan tambang batubara pada tahun 2000 hingga tahun ini, mengundang investasi lebih ramai masuk Indonesia, baik melalui lembaga maupun melalui peseorangan. Debit lahan batubara pun dalam waktu  singkat dinyatakan sold out. Kalau pun masih ada tersisa, akan sangat mahal dan berbiaya tinggi, belum harus menempuh resiko kisruh dan ketidakjalasan status otoritas pemegang Kuasa Pertambangan - kini disebut Izin Usaha Pertambagan - membuat investasi mengalami ancaman lose dan sangat beresiko.

Pada tahun 2005, pertambangan nikel mulai meruak sebagaimana yang dialami di batubara. Sampai saat ini, masih ditemukan lokasi-loaksi eks kontrak karya yang diperebutkan oleh sejumlah kekuatan ekonomi untuk dikuasai pada saat bersaam munculnya pola yang pernah berlaku pada tambang batubara. Setingkat perusahan comanditer dan bahkan koperasi boleh melakukan permohonan dan mendapatkan izin pengolahan tambang. Ini arus balik dari dikotomi bahwa proyek pertambangan hanya bisa dimohon dan dikelola dengan modal yang besar. Faktanya menjadi berbeda ketika jalur menngakses izin menjadi bervariasi mengikuti logika-logika dagang dan pendekatan koneksitras. Investor beramai-ramai menunggu izin selesai dari pengusaha lokal kemudian melakukan kerjasama dengan cara yang sangat murah. Ini fase yang sangat rawan dan abu-abu dalam sektor pertanbanga Indonesia kini.

Alhasil, banyak terjadi kekisruhan pengolahan, perbedaan visi proyek, tidak akurat dan mengabaikan hukum-hukum penambangan yang sangat sarat dengan tekhnologi keamanan, equipment dan soft ware serta pengendalian lingkungan pada wilayah terganggu. Hasilnya dapat diduga, negara dan daerah sangat dirugikan. Pengusaha lokal front line-nya, berikut kontraktor lokal berhadapan polemik yang tak jarang  berujung pada destruktif hiarisontal pemberdayaan daerah, dan pada saat demikian pemilik-pemilik modal yang tadinya hanya menunggu hasil produksi, dalam kondisi chaos baik didalam maupun diluar tambang,  dengan sangat mudah angkat kaki. Parahnya, dengan sistem hukum yang ada, modal yang sudah ditanamkan akan tetap dituntut pengembaliannya karena secara model bisnis dan ditopang oleh mekanisme hukum, semua pressure itu dimungkinkan. Dikendalikan dari pusat pun para investor ini dapat menjalankan tekanan-telanannya. Sekali lagi, oleh azas dominasi modal, daerah dan pegusahanya terposisikan sebagai kaum terjajah.

Menanam modal di proyek pertambangan pada umumnya sama dengan sektor lain, sebutlah property. Melalui pemegang izin prinsip dilakukan take over atau pun join operasi. Keamanan invesatsi  selalu jadi  pertanyaan. Sewaktu-waktu terjadi dead lock disebabkan berbagai alasan. Dan, bagi pihak investor yang rata-rata berasal dari negeri tetangga, selalu berpatokan pada pola berikan loan, kuasai dan tinggalkan wilayah proyek jika terjadi ancaman. Modal yang dipinjamnakan tetatp dituntut atau kuasai asset daerah secara hukum perusahaan. Ini pratek yang sangat miris untuk dibahas. Telah terjadi kesalahan besar pola kemitraan yang masih terus berlangsung sampai saat ini.

Penanaman modal selayaknya aman dan jauh dari ancaman dead lock. Pertanyaannya, bagimana cara penyelenggaraannya ? Skala prioritas analisa prainvestasi tertuju pada legalitas, internal kepmilikan, site ; cadangan, kulaitas, infrastruktur, jarak kesampaian dan terakhir tapi paling pokok adalah masyarakat sekitar  lokasi rencana proyek tambang. Lokasi bisa saja berpotensi cadangan yang layak tambang, akan tetapi jika masyarakat sekitar tambang terancam keselamatan diri, sumber-sumber produksi sebelum ada proyek dan sejumlah dampak negataif yang mungkin timbul, maka proyek tambang tidak boleh dan tidak layak diselenggarakan hingga solusi dari masalah-masalah ini selesai dan lolos uji kelayakan.

Pertimbangan kelayalakan proyek - FS - bukan semata-mata cadangan bahan galian yang terdapat didalam areal IUP serta pertimbangan untung rugi invesatsi, tetapi pertimbangan sosial sangat penting dimasukkan dalam faktor positioning decision.  Proyek yang dipaksakan dan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan  masyarakat diyakini setiap saat akan ternacam gagal. Lahan boleh saja cadangan bahan galian yang besar kuantitasnya, tetapi resources lingkungan juga harus lebih diposisikan dengan seksama. 

Urutan dan step flow bisa saja dirumuskan dalam skema yang simply, tetapi ini benar-benar harus merujuk pada peristiwa empirik atas masalah sosologis antropologis masyarakat wilayah penyanggah tambang. Jika ini sudah dilakukan, setidaknya sebuah kunci utama kesuksesan penyelenggaran proyek tambang dapat dibukukukan, selain kunci management keuangan dan juga pasar tentunya.  


Gak zaman lagi sebuah perusahan tambang menggunakan cara-cara kursif dan premanisme untuk menyelangarakan proyeknya. Keamanan yang paling kuat dan kokoh adalah keamanan masyarakat sebagai sebuah lembaga. Sayang sekali kadang di nafikan dan dianggap merepotkan dan berbahaya. Yang saya lihat banyak terjadi justru yang sebaliknya. Penggunaan outsorcing guard enterprise baik swasta maupun pemerintah justru berpotensi menjadi polemik baru. Sedikit saja percikan akan menghanguskan semua harapan. Harapan investor demikian pula harapan masyarakat dan daerah, maka sekali lagi terjadi kemunduran ke wilayah abu-abu tanpa kepastian manfaat SDA kita untuk rakyat Indonesia sendiri..

Apa yang tersilhat sehari-hari di media massa adalah sebagian bukti dari masih terjadinya kesalahan penanaman modal di pertambangan mineral logam. Yang dimaksud disini bukan salah prosedur, karena prosedur sudah baku menurut undang-undang, Kepmen maupun PP dan Perda. Tetapi kesalahan disini adalah kesalahan karena kepekaan melihat mitra proyek - dalam hal ini lembaga masyarakat  dan swadanya - sudah tumpul dan impoten. Kejadian ini sebenarnya bisa dihindari dengan sedikit merubah angel cara pandang atas massa sosial kita, itu saja. Rakyat tidak akan berhenti memperjuangkan hak-haknya, sudah sepantasnya era keseimbangan diketengahkan sebagai trend pendekatan management, terutama dalam pengelolaan - seperti pertambangan - proyek yang bersinggunga langsung dengan masyrakat.. Mesuji, freeport, dan Sape Bima tidak akan pernah terjadi.