Memang miris membicarakan masalah tambang secara terbuka. Sebuah simalakama yang terus mengendap disetiap mine set publik Indonesia. Sumber Daya Alam Indonesia di sektor pertambangan mineral logan dan bahan galian umum lainnya, selayaknya dapat menjadikan negeri ini makmur dan mampu menghadapi persoalan iternal dan internasional. Apa lacur, ceritanya sangat berbeda dan bahkan terindikasi menjadi sumber perpecahan komponen negara, rakyat dan penyelengaraan negara.
Ada asumsi bahwa, dimanapun bahan galian mineral logam, suatu hari akan di "jarah" dan di ekploitasi dengan jalan apapun. Bahkan dengan senjata dan invasi jika perlu. Mungkin jejak itu sudah terlihat sejak era kolonial menjadi trend. Ekspansi negara-negara 'berfikir maju' merangsek ke wilayah "tanpa penghuni" dengan segala kekutannya. Dan, dalam kasus modern; kasus pendudukan Afganistan oleh Rusia - mungkin jadi contoh yang layak ditelaah, bahwa negara gersang semacam Afganistan menjadi pertanyaan besar ketika menjadi tujuan invasi oleh Rusia.
Rumor pun lahir kemudian dengan terbentuknya Taliban oleh Amerika untuk melawan Rusia, dan akhirnya Taliban dalam ini Amerika menang atas Rusia. Dikemudian hari, yang kita tahu bersama ujungnya, ketika Taliban sebagai "konco" dilibas habis-habisan tanpa ampun. Ternyata cerita bermuara pada Afganistan memiliki cadangan tambang mineral logam yang sangat besar untuk ukuran negara Adi Daya semacam Amerika, menjadi negara besar itu menempatkan agenda kebijakan luar negerinya dalam posisi kontroversial dan mengundang berbagai kecaman.
Soal industri pertambangan bukan hanya soal modal dan hasil yang melimpah. Dialek kapitalisme pun sarat didalamnya, demikian pun masalah politik dan konspirasi dan intrik tak lepas jadi konsumsi untuk mendapatkannya. Terbacalah oleh kita para awam jejaknya di Indoneisa kini, dimana para pemilik modal ramai-ramai menguasai asset negara dan mengabaikan Pasal 33 UUD 45 melalui perda, kepmen dan PP sebagai jalur resmi dan tidak melanngar hukum.
Sektor pertambangan adalah sektor startegis bagi domestik dan Internasional. Startegis secara ekonomi, bargaining politik dan issue Internasional. Tak pelak lagi, bahwa cara menuju kesana sedemikian rupa ditempuh dengan resiko yang sangat besar, baik secara modal maupun kebijakan negara menjadi "tumbal" dan berujung pada tersia-siakannya rakyat dihadapan kebijakan dalam soal tambang ini .
Perlawan secara baku terus dilakukan oleh berbagai komponen masyarakat melalu demonstrasi, blokade daerah, dan aksi kerusuhan. Disayangkan, semua perlawan itu hanya mampu menembus "kulit ari" semata dari masalah ini. Persolan sesungguhnya tidak tersentuh sama sedikitpun apalagi menyelesaikanmasalah yang ada. Alih-alih selesai, yang terjadi kemudian, pelaku penggerak gugatan cenderung menjadi korban terjerat pasal kriminal dan semacamnya. Akibatnya, masalah ketidakseimbangan poryek-proyek pertambangan menjadi semakin immun dari gugatan gugatan perbaikan.
Secara nilai, gerakan-gerakan tetap sangat dibutuhkan. Tetapi sebagai testimoni saya, barangakali dengan cara memasuki aplikasi pertambangan bisa menjadi jalan baru yang bisa diandalkan. Persoalan memang semakin merumit, ketika berbicara modal dan legtimasi, tetapi menunggu dan menjadi pemaki saja bukan pula jalan yang harus dianut. Status inferior tidak dapat dihindari, akan tetapi sangat diharapkan ada kesungguhan menjalaninya secara kontinyu agar dapat melahirkan kemampuan dan kematangan dalam memahami persoalan untuk bisa mengambil sebuah kesimpulan yang obyektif.
Masa depan pertambangan Indonesia dapat mendatangkan manfaat apabila regulasi-regulasi dirubah menjadi berpihak kepada masyrakat secara langsung. Tata kelola yang terbuka dan melibatkan komponen masyarakat akan mendorong lahirnya kepercayaan kembali rakyat atas pemerintah. Dengan demikian investasi dari berbagai pihak pun dapat dijamin kelanggengannya, sekaligus menghindarkan negara ini dari status template asing, high risk country yang sering jadi momok bagi investor.
Kehadiran investor asing memang masih diperlukan, karena negara ini tidak menganut sistim investasi langsung. Dibutuhkan BUMN dan UKM serta sistim lainnya yang masih uji coba, membuktikan pula bahwa negara nyaris tidak mempercayai institusi kerakyatan. Pola kemitraan memang pernah digembar-geborkan tetapi yang ini pun layu sebelum berkembang. Jika berjalan pun mungkin tidak akan lepas dari praktik-praktik monopli dan berbagai macam penyakit sosial; Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang berakibat kerdilnya lembaga rakyat yang mendapat kucuran dana dari negara.
...............................
Lalu apa selanjutnya, ceracau ini sulit saya hentikan dan hanya akan semakin berbelit-belit pla jika saya teruskan. Akan tetapi memasuki aplikasi tambang dengan memandu investor dan mengadvokasi hak-hak masyrakat penyanggah tambang tetap akan "kami" lakukan meski dengan berbagai keterbatasan. Harapan besarnya, kedepan muncul pengusaha-pengusaha yang mampu menerjemahkan antara keamanan investasi, komersialitas yang ber-value tinggi dan "sedikit" perhatian formal terhadap masyarakat penyanggah tambang. Barangkali dengan demikian pengelolaan SDA di Indonesia bisa menjadi lebih baik dan bisa dinikmati oleh rakyat secara kontinyu, dan lebih penting lagi tidak menjadi faktor pendorong lahirnya gap antara rakyat dan pemerintahnya.